1. Biographical Characteristic
Karakteristik personal, seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, ras, masa jabatan, agama, yang objektif dan mudah didapatkan dari catatan personal.
2. Ability
Ability adalah kemampuan individu untuk melakukan berbagai tugas dalam sebuah pekerjaan, terbagi menjadi :
Intellectual ability
Physical ability
3. Learning
Ciri pembelajaran ialah terjadi perubahan, sifat permanen, dan perubahan yang terus muncul dalam diri.
Ada 4 macam teori :
a) Classical Conditioning
Belajar karena ada rangsangan.
b) Operant Conditioning
Belajar berperilaku untuk mendapatkan reward/menghindari hukuman.
c) Social-learning Conditioning
Perilaku itu dari pengamatan dan pengalaman langsung.
d) Shaping Behavior
Perilaku yang dipaksakan.
Reinforcement
Ada 4 macam reinforcement :
1) Positive reinforcement
menyediakan reward bagi perilaku yang sesuai
2) Negative Reinforcement
melarang dengan memberikan konsekuensi
3) Punishment
menerapkan kondisi yang tidak diinginkan untuk menghapus perilaku yang tidak diinginkan
4) Extinction
Pembentukan, harus mengikuti peraturan.
Berikut video tentang keragaman dan cara menghadapinya :
Berikut video tentang keragaman dan cara menghadapinya :
Berikut adalah studi kasus untuk membantu pemhaman , kami mengambil contoh berupa
" PENGARUH PERAN GENDER TERHADAP KEPUASAN KERJA, STRES KERJA DAN KEINGINAN BERPINDAH ".
Secara umum, dunia kerja di luar rumah didominasi oleh pria. Kekuatan organisasi yang mereka bangun dalam dunia kerja mereka otomatis akan dipengaruhi oleh karakter maskulin. Demikian pula halnya dalam kantor akuntan publik. Beberapa penelitian mengatakan bahwa karakter maskulin dominan dalam kantor akuntan publik (Maupin dan Lehman, 1994; Hull dan Umansky, 1997; Hooks dan Cheramy, 1989).
Lingkungan kantor akuntan publik yang berkarakter maskulin maksudnya adalah
seperti yang diungkapkan Dalton (1997), yaitu lingkungan kerja yang level
kompetisinya tinggi, tekanan kerja yang berat, pengendalian dan pengawasan yang ketat. Konsekuensinya, seseorang baik pria maupun wanita yang bekerja dalam
kantor akuntan publik harus menyesuaikan dengan karakter maskulin dan mengurangi
atau menghilangkan karakter femininnya. Meningkatnya keterlibatan wanita dalam kantor akuntan publik yang dikatakan berkarakter maskulin menunjukkan bahwa wanita juga dapat menyesuaikan dengan
karakter maskulin. Bila wanita dapat berkarakter maskulin, maka sebaliknya, pria pun juga dapat
berkarakter feminin. Penelitian Maupin dan Lehman (1994) menunjukkan bahwa
auditor pria pada level junior, senior, dan manajer ada yang memiliki karakter feminin.
Sementara itu, pada level partner baik pria dan wanta tidak ada yang memiliki karakter
feminin (maskulin rendah-feminin tinggi). Dari hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi kesuksesan seseorang (baik pria maupun wanita)
di kantor akuntan publik, maka semakin tinggi nilai-nilai maskulin yang melekat dalam
dirinya. Adanya stereotip bahwa pria memiliki karakter maskulin dan wanita memiliki
karakter feminin telah menjadi salah satu dasar pemikiran penelitian bahwa terdapat
perbedaan antara auditor pria dan wanita dalam beberapa aspek seperti kinerja,
kepuasan kerja, kemajuan karir, dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kantor
akuntan publik. Anggapan bahwa sifat-sifat yang dimiliki wanita harus lembut, tidak
agresif dan tidak dominan atau disebut feminin, mengkondisikan wanita tidak memiliki
kesempatan yang sama dalam meraih karir di kantor akuntan karena dianggap sifat
demikian tidak sesuai untuk memegang posisi yang lebih tinggi atau kepemimpinan.
Munculnya hambatan bagi wanita dalam meniti karir memang telah menjadi
pertimbangan. Bagaimanapun secara kodrat urusan domestik seperti mengurus anak
dan urusan rumah tangga lainnya lebih dititikberatkan pada wanita. Disamping itu,
adanya anggapan bahwa karakter wanita yang feminin dan pria yang maskulin diduga
akan menyebabkan perbedaan pada beberapa hal yang terkait dengan pekerjaan di
kantor akuntan publik. Salah satu yang sering menjadi perhatian penelitian adalah
perbedaan tingkat turnover antara pria dan wanita di kantor akuntan publik. Penelitian
Collins (1993) menemukan bahwa auditor wanita memiliki tingkat turnover yang
lebih tinggi dibandingkan auditor pria. Salah satu penyebab tingginya tingkat turnover
auditor wanita dibandingan auditor pria adalah rendahnya kepuasan kerja akibat
adanya diskriminasi dalam pemberian kesempatan untuk maju dan pemberian gaji
yang dirasakan auditor wanita.
Disamping itu, turnover juga dipengaruhi oleh stres kerja (Powell, 1983;
Tosi, dkk., 1990; Cherrington, 1994). Collins (1993) dalam penelitiannya menemukan
bahwa auditor wanita yang melakukan turnover memiliki tingkat stres kerja yang
lebih tinggi dibanding yang tidak melakukan turnover di kantor akuntan publik.Hal
ini disebabkan pekerjaan berat dan waktu kerja yang padat menyulitkan wanita untuk
membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.
Mengacu pada adanya kelemahan dengan menggunakan variable jenis kelamin
dan keunggulan dengan menggunakan variable peran jenis (maskulin/feminin) untuk
melihat perbedaan perilaku yang telah diungkapkan oleh Lefkowitz (1994), maka
tujuan penelitian ini selanjutnya adalah untuk menguji apakah terdapat perbedaan
kepuasan kerja, stress kerja, dan keinginan berpindah auditor didasarkan pada peran
jenis (maskulin/feminine). Hal ini dilatarbelakangi adanya kenyataan bahwa tidak semua
wanita memiliki karakter feminin dan tidak semua pria memiliki karakter maskulin
serta adanya peran jenis selain maskulin dan feminin, yaitu androgini dan tak
tergolongkan.
HIPOTESA
Adanya stereotip atau pelekatan sifat maskulin pada pria dan feminine pada
wanita telah menjadi salah satu penyebab munculnya hambatan (glass ceiling) bagi
wanita untuk bekerja di luar rumah atau untuk mencapai posisi puncak dalam organisasi.
Maupin (1993) mengklasifikasikan dua hal penyebab munculnya fenomena glass
ceiling, yaitu: 1) person-centered explanations, penyebab sedikitnya wanita yang
menempati posisi atas karena personalitas dan pola perilaku wanita yang tidak sesuai
untuk mengambil peran kepemimpinan, 2) situation-centered explanations,
sedikitnya wanita yang menempati posisi atas adalah karena dominasi pria yang
kemudian memunculkan diskriminasi struktural dan kebijakan.
pertimbangan. Bagaimanapun secara kodrat urusan domestik seperti mengurus anak
dan urusan rumah tangga lainnya lebih dititikberatkan pada wanita. Disamping itu,
adanya anggapan bahwa karakter wanita yang feminin dan pria yang maskulin diduga
akan menyebabkan perbedaan pada beberapa hal yang terkait dengan pekerjaan di
kantor akuntan publik. Salah satu yang sering menjadi perhatian penelitian adalah
perbedaan tingkat turnover antara pria dan wanita di kantor akuntan publik. Penelitian
Collins (1993) menemukan bahwa auditor wanita memiliki tingkat turnover yang
lebih tinggi dibandingkan auditor pria. Salah satu penyebab tingginya tingkat turnover
auditor wanita dibandingan auditor pria adalah rendahnya kepuasan kerja akibat
adanya diskriminasi dalam pemberian kesempatan untuk maju dan pemberian gaji
yang dirasakan auditor wanita.
Disamping itu, turnover juga dipengaruhi oleh stres kerja (Powell, 1983;
Tosi, dkk., 1990; Cherrington, 1994). Collins (1993) dalam penelitiannya menemukan
bahwa auditor wanita yang melakukan turnover memiliki tingkat stres kerja yang
lebih tinggi dibanding yang tidak melakukan turnover di kantor akuntan publik.Hal
ini disebabkan pekerjaan berat dan waktu kerja yang padat menyulitkan wanita untuk
membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.
Mengacu pada adanya kelemahan dengan menggunakan variable jenis kelamin
dan keunggulan dengan menggunakan variable peran jenis (maskulin/feminin) untuk
melihat perbedaan perilaku yang telah diungkapkan oleh Lefkowitz (1994), maka
tujuan penelitian ini selanjutnya adalah untuk menguji apakah terdapat perbedaan
kepuasan kerja, stress kerja, dan keinginan berpindah auditor didasarkan pada peran
jenis (maskulin/feminine). Hal ini dilatarbelakangi adanya kenyataan bahwa tidak semua
wanita memiliki karakter feminin dan tidak semua pria memiliki karakter maskulin
serta adanya peran jenis selain maskulin dan feminin, yaitu androgini dan tak
tergolongkan.
- Analisa:
HIPOTESA
Adanya stereotip atau pelekatan sifat maskulin pada pria dan feminine pada
wanita telah menjadi salah satu penyebab munculnya hambatan (glass ceiling) bagi
wanita untuk bekerja di luar rumah atau untuk mencapai posisi puncak dalam organisasi.
Maupin (1993) mengklasifikasikan dua hal penyebab munculnya fenomena glass
ceiling, yaitu: 1) person-centered explanations, penyebab sedikitnya wanita yang
menempati posisi atas karena personalitas dan pola perilaku wanita yang tidak sesuai
untuk mengambil peran kepemimpinan, 2) situation-centered explanations,
sedikitnya wanita yang menempati posisi atas adalah karena dominasi pria yang
kemudian memunculkan diskriminasi struktural dan kebijakan.
Hubungan Jenis Kelamin dan Peran jenis terhadap Stres Kerja
Hubungan Jenis Kelamin dan Peran jenis terhadap Stres Kerja dapat diuraikan sebagai berikut
Stres merupakan masalah psikologis yang dapat berdampak besar terhadap
fisik atau kesehatan seseorang seperti jantung, darah tinggi, sakit kepala dan depresi
(Tosi dkk., 1990; Organ dan Hamner, 1982). Stres dapat terjadi pada saat individu
harus menghadapi situasi atau keadaan yang tidak diinginkan atau diluar
kemampuannya. Faktor-faktor yang menjadi pemicu stres kerja bermacam-macam. Sullivan
dan Bhagat (1992) menggunakan role ambiguity, role conflict, dan role overload
sebagai faktor yang menjadi penyebab stres kerja. Beberapa studi menemukan bahwa tingkat stres yang dialami wanita hampir tidak ada perbedaan dengan tingkat stres yang dialami oleh pria (Senatra, 1988 dalam
Collins, 1993). Sementara itu, studi yang dilakukan Collins (1993) di kantor akuntan
publik menemukan bahwa wanita mengalami stres kerja lebih tinggi dibanding pria.
Wanita mengalami stress kerja yang tinggi karena adanya tuntutan pekerjaan dan
rumah tangga (Collins, 1993). Hal lain yang menjadi penyebab tingginya stres kerja
adalah ketidakmampuan wanita pada umumnya dalam menghadapi lingkungan kerja
yang didominasi oleh pria (Maupin, 1993).
Hubungan Jenis Kelamin dan Peran Jenis terhadap Keinginan Berpindah ( Turnover )
Hubungan Jenis Kelamin dan Peran Jenis terhadap Keinginan Berpindah dapat diuraikan sebagai berikut.
Survey yang dilakukan oleh AWSCPA (American Woman’s Society of
Certified Public Accountants) menunjukkan bahwa alasan seseorang terutama
wanita meninggalkan kantor akuntan publik adalah untuk mendapatkan kesempatan
promosi dan kondisi kerja yang lebih baik. Menurut Hunton, dkk. (1996),
ketidakpuasan kerja dan stres kerja menyebabkan wanita memiliki keinginan untuk
berpindah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Collins (1993) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa wanita lebih sering melakukan turnover
dibandingkan pria. Lingkungan kerja auditor yang berkarakter maskulin cenderung menuntut
seseorang untuk berkarakter maskulin bila ingin tetap bertahan dalam kantor akuntan
publik. Dengan demikian, seseorang yang memiliki karakter maskulin rendah akan
cenderung untuk meninggalkan kantor akuntan publik karena ketidaksesuaian karakter
dirinya dengan kantor akuntan publik. Studi Maupin dan Lehman (1994) menunjukkan
bahwa seseorang harus menyesuaikan dengan karakter maskulin bila ingin tetap
bertahan di kantor akuntan publik. Maupin dan Lehman (1994) juga menemukan
bahwa individu yang memiliki karakter maskulin tinggi (golongan maskulin dan
androgini) akan memiliki tingkat turnover yang lebih rendah dibandingkan dengan
individu yang memiliki karakter maskulin rendah (golongan feminin dan
undifferentiated).
Hasil Analisa kami mengatakan :
Pada umumnya pria lebih bermain logika dibandingkan wanita yang lebih menggunakan perasaan dalam mengambil keputusan. Secara tidak langsung, hal ini sebenarnya membawa dampak didalam kinerja mereka.
Kepuasan kerja wanita cenderung lebih rendah dibanding pria jika mereka merasa adanya diskriminasi.
Pada umumnya pria lebih bermain logika dibandingkan wanita yang lebih menggunakan perasaan dalam mengambil keputusan. Secara tidak langsung, hal ini sebenarnya membawa dampak didalam kinerja mereka.
Kepuasan kerja wanita cenderung lebih rendah dibanding pria jika mereka merasa adanya diskriminasi.
Stress kerja lebih mudah dirasakan oleh wanita dibandingkan pria karena hasil survey membuktikan bahwa pria lebih tahan terhadap stress.
Tingkat keinginan berpindah yang tinggi pada para staf akuntan telah mengakibatkan timbulnya biaya atau kerugian bagi Kantor Akuntan Publik (KAP), terutama jika tingkat turnover yang terjadi relatif tinggi.
Dalam menjabat sebagai seorang akuntan publik, perbedaan antara tingkat kepuasan kerja, stress kerja, dan keinginan berpindah berdasarkan gender dapat diminimalisir dengan menghilangkan diskriminasi dalam pekerjaan.
Sebenarnya, kualitas pekerjaan tidak dapat diukur dari gendernya. Hal ini dikarenakan baik pria maupun wanita belum tentu memiliki karakter yang benar-benar maskulin atau feminim. Ada wanita yang bersifat maskulin, begitupun sebaliknya. Pengaruhnya lebih didasarkan dari karakter secara individu.
Ada plus minus dari pria maupun wanita. Meskipun wanita mudah stress, namun wanita cenderung lebih teliti dan cermat dalam menyusun laporan keuangan. Sedangkan pria meskipun lebih tahan terhadap stress, namun seringkali lebih banyak ditemukan kesalahan dalam akuntansi.
Oleh karena itu, pekerjaan sebagai akuntan publik sebaiknya tidak memandang berdasarkan gendernya, tetapi karakter dan keakuratan dalam bekerja.
Tingkat keinginan berpindah yang tinggi pada para staf akuntan telah mengakibatkan timbulnya biaya atau kerugian bagi Kantor Akuntan Publik (KAP), terutama jika tingkat turnover yang terjadi relatif tinggi.
Dalam menjabat sebagai seorang akuntan publik, perbedaan antara tingkat kepuasan kerja, stress kerja, dan keinginan berpindah berdasarkan gender dapat diminimalisir dengan menghilangkan diskriminasi dalam pekerjaan.
Sebenarnya, kualitas pekerjaan tidak dapat diukur dari gendernya. Hal ini dikarenakan baik pria maupun wanita belum tentu memiliki karakter yang benar-benar maskulin atau feminim. Ada wanita yang bersifat maskulin, begitupun sebaliknya. Pengaruhnya lebih didasarkan dari karakter secara individu.
Ada plus minus dari pria maupun wanita. Meskipun wanita mudah stress, namun wanita cenderung lebih teliti dan cermat dalam menyusun laporan keuangan. Sedangkan pria meskipun lebih tahan terhadap stress, namun seringkali lebih banyak ditemukan kesalahan dalam akuntansi.
Oleh karena itu, pekerjaan sebagai akuntan publik sebaiknya tidak memandang berdasarkan gendernya, tetapi karakter dan keakuratan dalam bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar